Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah tropis yang memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Akibatnya, Indonesia memiliki kerawanan terjadinya kemarau panjang (kesulitan air), banjir bandang dan tanah longsor karena musim hujan.
Secara geografis negara kepulauan dengan 17.000 pulau terletak di persimpangan lempeng dunia dan lintasan gunung berapi. Lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasific. Dua lempeng ini secara dinamis terjadi gerakan. Sehingga mempunyai potensi terjadinya gempa tektonik serta tsunami. Sering terjadi letusan gunung berapi, gempa vulkanik, tanah longsor, banjir bandang.
Salah satu gejala alam dahsyat terjadi pada akhir tahun 2004 yaitu gempabumi dan tsunami di Aceh yang mengakibatkan 240 ribu jiwa menjadi korban meninggal dunia. Pada saat itu belum ada suatu peringatan dini yang disampaikan kepada masyarakat secara luas, selain itu para korban tidak mempunyai pengetahuan tentang ancaman tsunami sehingga mengakibatkan korban jiwa sedemikan besar jumlahnya.
Momen ini begitu membuat dunia terhenyak, bencana gempa bumi diikuti gelombang tsunami yang menerjang sebagian wilayah Aceh pada akhir Desember 2004 merupakan titik balik perubahan paradigma penanggulangan bencana di dunia. Lembaga-lembaga internasional dan PBB menggelar konferensi pada 18-22 Januari 2005, beberapa hari setelah tsunami di Aceh terjadi. Dalam konferensi di Kobe, Jepang tersebut melahirkan kerangka aksi Hyogo 2005-2015. Pada intinya adanya perubahan paradigma penanggulangan bencana dari respon tanggap darurat menjadi upaya pengurangan resiko bencana.
Di Indonesia, instrumen hukum yang menyangkut pengaturan penanggulangan bencana (PB) adalah Undang Undang No. 24 Tahun 2007. Kehadiran peraturan tersebut bertujuan untuk mengurangi dan meminimalisir risiko timbulnya korban akibat bencana alam maupun bencana kemanusiaan. Peraturan tersebut menyangkut tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab negara terkait penanggulangan bencana.
Dalam UU 24/2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: prabencana; tanggap darurat; dan pascabencana. Prabencana merupakan fase atau kondisi sebelum terjadinya bencana. Kegiatan -kegiatan yang dilakukan adalah: perencanaan penanggulangan bencana; pengurangan risiko bencana; pencegaha; pemaduan dalam perencanaan pembangunan; persyaratan analisis risiko bencana; pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; pendidikan dan pelatihan; dan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Tanggap darurat merupakan masa darurat, sesaat setelah terjadinya bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; pemenuhan kebutuhan dasar; pelindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pascabencana merupakan fase pemulihan kembali setelah masa tanggap darurat selesai. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana meliputi: rehabilitasi; dan rekonstruksi.
Pada fase-fase kritis itu, kelancaran informasi dan komunikasi amat menentukan efektifnya koordinasi dan penanganan korban. Salah satu kelompok yang mempunyai peran besar dalam aktivitas penanggulangan bencana adalah warga dan jurnalis.
Evaluasi dari sejumlah penanganan bencana di tanah air menunjukkan tentang kebutuhan pusat informasi terpadu yang bisa menghimpun semua data dan informasi dari berbagai titik lokasi. Selain itu, pusat informasi ini dibutuhkan untuk mengolah berbagai informasi, data, dokumen, temuan dan rekomendasi dari masyarakat, lembaga swasta dan pemerintah, dari dalam dan luar negeri, yang menangani bencana itu. Pusat Informasi ini bisa berperan sebagai sumber rujukan bagi jurnalis, lembaga dan perorangan yang ingin mengetahui kondisi terakhir di wilayah bencana, serta lembaga pemberi bantuan. Keberadaan pusat informasi yang memiliki data akurat yang dimutakhirkan secara berkala akan memberikan dukungan amat besar pada efektifitas dan koordinasi penyaluran bantuan.
Untuk itu, diperlukan lokakarya yang bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang jurnalistik kebencanaan. Lokakaryaini diselenggarakan AirPutih, LPM Suara Kampus, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, Lumbung Derma.
Maksud
Sumatera Barat sebagai ‘Supermaket Bencana’ menuntut masyarakat peka terhadap daerahnya. Masyarakat harus memiliki informasi dini tentang potensi bencana yang mengancam Sumatera Barat. Informasi tersebut didapatkan dari media yang dituntut untuk mengelola informasi secara cerdas dalam penanggulangan bencana di Sumatera Barat. Perlunya mendororong pers kampus untuk aktif terlibat dalam pengelolaan informasi kebencanaan dengan berusaha memberikan teknis tata kelola media center
Tujuan
Meningkatnya kapasitas jurnalis dalam penanggulangan bencana dan berperan mengawal informasi di daerah rawan bencana dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang :
1. potensi bencana alam di Indonesia umumnya dan Sumatera Barat khususnya.
2. jurnalistik untuk penanggulangan bencana.
3. Teknis membangun media center.
Keluaran
Tersedianya informasi yang cukup tentang penanggulangan bencana baik sebelum dan pasca bencana melalui bertambahnya 24 jurnalis yang memiliki pemahaman dan keterampilan dalam pengelolaan informasi di Sumatera Barat.
Tema Kegiatan “ Lokakarya Pengelolaan Informasi untuk Penanggulangan Bencana di Sumatera Barat”
Waktu pelaksanaan : 12-13 Maret 2011
Tempat : Gedung pertemuan IAIN Imam Bonjol,Padang Sumatra Barat
Pelaksana kegiatan : Pers Suara Kampus didukung Yayasan AirPutih, Hivos dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang Sumbar
Peserta : 24 perwakilan pers mahasiswa se-Sumatra Barat dan KSR PMI IAIN Imam Bonjol Sumbar.
Agenda Kegiatan
Materi disampaikan dengan metode presentasi dan diskusi. Materi diantaranya :
1. Peta potensi bencana alam di Sumatera Barat
2. Liputan di Daerah Bencana (Persiapan, gambaran kondisi di lapangan, dst). Pengalaman jurnalis di daerah bencana
3. Peran Pusat Informasi Bencana (Media Center), warga dan jurnalis sebagai tim content
4. Jurnalistik
5. Petunjuk praktis mengelola media center dalam jaringan (online) dan media sosial. Oleh Tim AirPutih
6. Petunjuk praktis penggunaan radio amatir.
7. Peran Radio Komunitas dalam penanggulangan bencana.
Rencana Tindak Lanjut
Lokakarya disambut antusias dari peserta yang berasal dari kalangan pers kampus, olehnya lokakarya dilanjutkan dengan mengambil waktu untuk memulai membuat tim kerja sebagai langkah awal implementasi media center di sumatra Barat. Tim kerja dimaksudkan untuk mempermudah agenda-agenda yang akan dibuat dalam proses pearencanaan mendirikan media center. Kedepannya, secara teknis sdm yang akan mengelola media center memerlukan dukungan-dukungan penambahan kapasitas terkait pengelolaan media center. Oleh karenanya Yayasan Airputih akan terus memberikan dukungan melalui pelatihan teknis pengelolaan mediacenter setelah terbentuknya tim media center Sumatra Barat.
Kesimpulan
Lokakarya pengelolaan informasi kebencanaan sangat penting di tindaklanjuti. Mediacenter sangat berguna untuk kepentingan mitigasi dan penanganan pasca terjadinnya bencana. Sumatra Barat sebagai salah satu wilayah yang rawan bencana sangat memerlukan akses informasi yang mencukupi bagi masyarakat. Disisi lain, penanganan bencana perlu di sebarluaskan untuk tecapainya efisensi dan efektivitas penaganan. Melalui lokakarya ini, beberapa lembaga mendukung tersedianya media cener di Sumatra Barat. Yayasan AirPutih, Aliansi Jurnalis Indonesia Sumatra Barat, Rapi Sumbar dan lembaga pers mahasiswa Sumatra Barat mendukung hal tersebut.
Dengan demikian bahwa peran-peran tiap lembaga dapat ditingkatkan untuk membantu tercipatanya mediacenter di Sumatra Barat melalui kemapuan dan keahlian yang dimilikinya.
[dm]14[/dm]
[dm]15[/dm]
[dm]16[/dm]
[dm]17[/dm]
[nggallery id=10]
Tinggalkan komentar
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *
