Search

Bocah-bocah di Mancang Berjalan 7 Kilometer sehari

Rabu, 9 Maret 2005, 13:30 WIB -Berita Umum- Bocah-bocah di Mancang Berjalan 7 Kilometer Sehari Sumber : acehkita Reporter: Cut Ida - Aceh Utara, 2005-03-09 11:46:15 Di bawah matahari yang garang, sekitar delapan ibu pengungsi di Desa Mancang, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, harus meninggalkan tendanya untuk mengunjungi tenda pos komando (posko) mahasiswa yang terletak di ujung timur. Kendati masih satu lokasi, jarak yang mereka tempuh nyaris setengah kilometer. Tenda pengungsi di Mancang memng didirikan memanjang di areal rel kereta api di pinggir Jalan Medan - Banda Aceh. Tenda pengungsi ada di ujung barat, sementara tenda posko mahasiswa di ujung timur. Hanya ada seorang mahasiswa siang itu. Mulyadi Rusli (22), mahasiswa Akademi Sekretariatan dan Manajemen Tanah Rencong, Lhokseumawe tampak sedang melihat  data-data pengungsi. Dengan bertelanjang dada, pemuda itu terlihat menjelaskan sesuatu kepada para ibu. Menurut Rosna (25), seorang pengungsi asal Desa Sawang, Kecamatan Samudera, mereka mendatangi posko mahasiswa karena mendapat kabar ada pembagian baju sekolah. Di  bawah tenda itu, memang terlihat banyak pakaian termasuk seragam untuk siswa Sekolah Dasar.Kami sudah laporkan pada mahasiswa. Tapi belum dibagi juga,” kata Rosna saat ditemui posko mahasiswa, Selasa (8/3). Perempuan itu memang tengah mengusahakan seragam untuk anaknya yang semata wayang dan kini duduk bangku SD Blang Nibong yang terletak sekitar tujuh kilometer dari lokasi pengungsian. Setiap pagi, puluhan pelajar berangkat dari lokasi itu ke SD Blang Nibong dengan angkutan mobil yang disediakan seorang guru SD Blang Nibong. Tentu saja tidak gratis. Mereka harus membayar Rp 1.000 per anak. Tapi lumayan. Setidaknya ada solusi. Tapi bukan berarti tidak ada masalah. Seperti diakui Zuhari (35), ibu dua anak yang juga asal Desa Sawang, dalam seminggu ia harus menyediakan minimal Rp 6.000 untuk transpor saja. “Belum jajannya. Belum kebutuhan lain. Sementara kami tidak mempunyai pekerjaan apa-apa,” kata ibu dari Saiful Bahri, murid kelas 4 SD Blang Nibong ini kepada acehkita. Dulu, sebelum terjadi gempa dan tsunami, anak-anak asal Desa Sawang hanya menempuh perjalanan paling setengah kilometer untuk mencapai sekolah di Blang Nibong. Namun sejak mengungsi ke Mancang, perjalanan menuju kelas semakin berat saja.Kalau pagi hari, ada mobil guru yang bisa dipakai meskipun harus membayar seribu perak. Tapi kalau siang, anak-anak pulang dengan berjalan kaki. Anak saya sampai sekarang belum pulang,” tambah Rosna. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30. Seharusnya, dua jam yang lalu, anaknya sudah berada di bawah tenda. Namun karena harus berjalan kaki, di bawah terik pula, mereka baru sampai di tenda menjelang sore dengan perut keroncongan. Seorang murid SD Blang Nibong bernama Mulyadi, membenarkan bahwa mereka harus berjalan kaki sejauh tujuh kilometer. “Kalau pagi naik mobil guru. Tapi kalau siang, pulang jalan kaki,” kata murid kelas empat itu. Hari itu ia bisa pulang cepat karena menumpang seorang pengendara motor yang kebetulan hendak ke Geudong, ibukota Kecamatan Samudera. Baik relawan mahasiswa maupun orang tua tidak tahu persis berapa jumlah anak usia sekolah di kamp pengungsian Mancang. Namun diperkirakan jumlah mereka mencapai puluhan karena para pengungsi berasal dari enam desa. Yang pasti, mereka berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mau menyediakan kendaraan untuk antar jemput sekolah. Sebab, ini bukan perkara rumit. Buktinya, Pemerintah Kota Lhokseumawe pernah menyediakan bus sekolah untuk mengantar anak-anak pengungsi di kamp halaman Rumah Sakit Cut Meutia. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mencatat, total pengungsi di Kecamatan Samudera berjumlah 4.988 jiwa yang tersebar di dua titik: Mancang dan Murong. Jumlah ini lebih rendah dibanding catatan yang diberikan Mulyadi Rusli, relawan mahasiswa, yang menyebut sedikitnya ada 6.200 pengungsi di dua titik tersebut. Tapi, “data rillnya sulit dipastikan. Para pengungsi pulang tanpa mengabarkan kepada kami,” katanya.  Seperti halnya kondisi pengungsi korban tsunami lainnya, para pengungsi di Mancang juga hidup dalam suasana memprihatinkan. Tidak adanya uang untuk mencukupi kebutuhan minimum merupakan persoalan utama mereka. Belum lagi keterbatasan fasilitas dan logistik.   Kondisi Rosna barangkali bisa mewakili persoalan para tetangganya. Sebelum mengungsi, perempuan ini mengaku memiliki berat badan 55 kilogram. Namun, ketika ditimbang di Puskesmas beberapa waktu lalu, berat badannya menukik tajam menjadi 40 kg. Artinya, belum tiga bulan ia sudah kehilangan 15 kg.   Turunnya berat badan tentu banyak faktor. Tapi yang kasat mata adalah masalah gizi. Sebab, pengungsi Mancang hanya memeroleh asupan gizi dari beras dan ikan. Beruntung bukan ikan asin. Seperti diakui Zubaidah (60), mereka secara rutin mendapat bantuan beras dan ikan segar satu potong untuk sehari semalam.Kalau daging, sejak mengungsi baru satu kali kami menerimanya, ketika meugang dulu,” cerita perempuan tua itu. Meugang adalah tradisi warga Aceh yang mengonsumsi daging menjelang hari raya. Bantuan lain seperti minyak goreng, diakui Zubaidah jumlahnya sangat kurang. “Tadi kami hanya menerima sedikit, satu kaleng susu untuk pemakaian sebulan. Tapi saya lihat persediannya memang kurang,” tambahnya. Sementara untuk sayur mayur seperti bayam dan kacang panjang, mereka mengaku menerima tiga hari sekali.     Pada hari yang sama tapi di lokasi berbeda, Penjabat Bupati Aceh Utara Teuku Alamsyah Banta melaporkan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil bahwa jumlah pengungsi Aceh Utara mencapai 15 ribu lebih. Itu belum termasuk yang tinggal di rumah saudara dan belum termasuk pengungsi asal Banda Aceh.Mereka semua sudah ditangani dengan baik. Tidak kurang suatu apa pun!” Dan Sofyan Djalil manggut-manggut sembari tersenyum. [dan]
Air Putih

Air Putih

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai *

Your experience on this site will be improved by allowing cookies Cookie Policy